3 Generasi
Libur musim panas hari ini enaknya seumuranku pergi bersama teman- teman. Sudah direncanakan padahal dari seminggu yang lalu bersama teman- temanku. Ke Dufan, nonton Iron Man 2 dan juga karoke. Semua sudah direncanakan dengan begitu sempurna. Tapi ayahku menggagalkan segalanya. Aku diajak ke kampung ayahku! Yang terbayang olehku adalah rumah yang jelek, nyamuk yang membuat tanganku gatal- gatal dan sawah yang baunya kotoran hewan semua. Ihh, jijik! Tapi ayah memaksaku. Dia membolehkanku untuk tinggal di Jakarta tetapi dengan syarat- syarat yang buat aku berat. Tidak boleh pergi kemana- mana. Semua dengan penjagaan ketat Om juga Tanteku. Bosan kan? Sehari tanpa keluar bagiku itu seperti 10 tahun di penjara! Terpaksa juga aku ikut.
Sambil ngedumel dalam mobil, aku pun ikut ke desa kelahiran ayahku ini. Kupingku juga bisa panas mendengarkan iPod-ku yang isi lagunya tidak sepantar dengan lamanya mobil ini melaju. "Pak Indra, jalannya negbut dong! Ih lama gila. Ini mobilkan mahal masa lama banget. Entar gaji kamu aku potong!" kataku marah- marah. "Meli! Jangan gitu dong. Mobilnya sudah cukup kencang. Memang jalan ke desa ayah cukup jauh! Tidur saja sana!" jawab ayah dengan nada yang cukup galak. Duh, kesal banget untuk apa pake ke desa segala. Aku pun tertidur setelah mobil ini berjalan 7 jam dengan pemberhentian di pom bensin selama 3 kali. Akhirnya sampai. Tempatnya lumayan asrih, tapi tetap beda tidak ada tempat untuk shopping. "Meli ingat tempat ini? Dulu Meli kan suka sekali kesini," sambil bengong ayahku berkata demikian.
"Apa kabar, Pak. Maaf lama sekali sampai kesini. Tadi macet," ayahku menyapa kakek. "Iya, yang macetnya gila- gilaan! Yang bosannya setengah mati!"
"Meli, mana sopan santun! Belum beri salam pada kakek ya. Sudah besar masih harus diingatkan?" ibuku membuatku jengkel dengan pertanyaan ini. "Sudah- sudah. Meli cuma kecapekan," kata kakek membelaku. Akhirnya kami masuk ke rumah kakek yang menurutku rumah yang cukup besar untuk menginap selama 3 hari 2 malam disini.
Hari pertama berjalan lancar karena kami sekeluarga kecapekan, tua di jalan untuk ke desa. Bisa dibilang aku sudah seperti orang gila yang tidurnya lumayan lama. Aku mulai gila di hari kedua. Bayangkan, tidak ada sinyal sedangkan ayahku asik- asikan ketawa bersama kakek. Orang tua memang aneh. Cuma nostalgia masa kecil sampai ditertawakan. Memang dulu tidak ada teknologi untuk merekam. "Duh, kakek, ayah. Gitu saja ditertawakan. Kayaknya biasa saja deh. "
"yah kamu mah jarang mengadakan acara seperti di desa- desa. Bermain di sungai bersama kawan- kawan, manjat pohon, dan gotong royong. Semua ada rasa kekeluargaan dan ada masa- masa yang bikin kangen," kata ayah dengan gayanya yang jadul (jaman dulu). Memang kenapa. "Aku juga ada kenangan bersama teman- temanku saat kami pergi ke Bali. Lebih seru daripada ayah tuh," jawabku dengan bangga. Anehnya, tidak lebih dari 3 detik, kakek dan ayah tertawa setelah meminum kopi buatan ibu. "Kamu ini ada- ada saja, cu. Beda dong masanya. Kamu pernah bermain bersama tetanggamu dan menjadi catatan masa kecil yang indah?" Aku pun termenung diam dan mulai bosan dengan ocehan mereka.
Sorenya, ibu tiba- tiba memanggilku. "Meli! Ayo sini bantu ibu cuci piring. Kamu daritadi enak- enakan ya duduk di sofa sambil nonton." Aku kan lagi nonton, kenapa harus diganggu. "Ayo, Mel. Bantu ibumu. Ayah harus bantu kakek membereskan genteng dan membetulkan antena. Biar kamu bisa nonton lebih jelas. Besok kan kita sudah pulang. Kamu sudah bisa beristirahat." Dengan wajah kesal, aku berarah ke dapur membantu ibu mencuci. Cepat- cepat. Malas banget tinggal di desa tidak ada pembantu. Rasanya aku ingin cepat- cepat hari esok muncul. Anehnya, sebelum aku hendak masuk dapur, aku melihat kakekku melihatku dari luar sambil menggeleng-gelengkan kepala. Pegal mungkin kepalanya.
Akhirnya datang juga hari terakhir. Hari yang untukku indah! Selamat tinggal piring- piring kotor, selamat tinggal kerbau dan halo hidup asliku. Aku pun buru- buru membereskan pakaianku dan menyuruh Pak Indra memasukkan tasku ke dalam mobil. "Pak, kami jalan dulu ya. Bapak baik- baik disini," ayah mengucapkan selamat tinggal sedangkan aku begegas masuk mobil. "Meli! Bilang terimakasih sama kakek. Ucapkan selamat tinggal dulu, dong!" kata ibu. Dengan loyonya aku menghampiri kakek. "Kek, makasih dan hati- hati. Sayonara!" Aku senyam- senyum dan belum ada 1 detik berbalik badan kakek memanggilku. "Cu, jaga dirimu dan adatmu ya. Kamu benar- benar beda sama orang tuamu. Terapkan apa yang mereka lakukan. Kakek berharap kamu seperti mereka. Kamu jaga diri ya, cu."
Entah mengapa pikiran itu masih terbayang dibenakhku hingga akhirnya aku mengerti maksud kakek di hari ia meninggal, 3 bulan setelah aku meninggalkannya.
Sambil ngedumel dalam mobil, aku pun ikut ke desa kelahiran ayahku ini. Kupingku juga bisa panas mendengarkan iPod-ku yang isi lagunya tidak sepantar dengan lamanya mobil ini melaju. "Pak Indra, jalannya negbut dong! Ih lama gila. Ini mobilkan mahal masa lama banget. Entar gaji kamu aku potong!" kataku marah- marah. "Meli! Jangan gitu dong. Mobilnya sudah cukup kencang. Memang jalan ke desa ayah cukup jauh! Tidur saja sana!" jawab ayah dengan nada yang cukup galak. Duh, kesal banget untuk apa pake ke desa segala. Aku pun tertidur setelah mobil ini berjalan 7 jam dengan pemberhentian di pom bensin selama 3 kali. Akhirnya sampai. Tempatnya lumayan asrih, tapi tetap beda tidak ada tempat untuk shopping. "Meli ingat tempat ini? Dulu Meli kan suka sekali kesini," sambil bengong ayahku berkata demikian.
"Apa kabar, Pak. Maaf lama sekali sampai kesini. Tadi macet," ayahku menyapa kakek. "Iya, yang macetnya gila- gilaan! Yang bosannya setengah mati!"
"Meli, mana sopan santun! Belum beri salam pada kakek ya. Sudah besar masih harus diingatkan?" ibuku membuatku jengkel dengan pertanyaan ini. "Sudah- sudah. Meli cuma kecapekan," kata kakek membelaku. Akhirnya kami masuk ke rumah kakek yang menurutku rumah yang cukup besar untuk menginap selama 3 hari 2 malam disini.
Hari pertama berjalan lancar karena kami sekeluarga kecapekan, tua di jalan untuk ke desa. Bisa dibilang aku sudah seperti orang gila yang tidurnya lumayan lama. Aku mulai gila di hari kedua. Bayangkan, tidak ada sinyal sedangkan ayahku asik- asikan ketawa bersama kakek. Orang tua memang aneh. Cuma nostalgia masa kecil sampai ditertawakan. Memang dulu tidak ada teknologi untuk merekam. "Duh, kakek, ayah. Gitu saja ditertawakan. Kayaknya biasa saja deh. "
"yah kamu mah jarang mengadakan acara seperti di desa- desa. Bermain di sungai bersama kawan- kawan, manjat pohon, dan gotong royong. Semua ada rasa kekeluargaan dan ada masa- masa yang bikin kangen," kata ayah dengan gayanya yang jadul (jaman dulu). Memang kenapa. "Aku juga ada kenangan bersama teman- temanku saat kami pergi ke Bali. Lebih seru daripada ayah tuh," jawabku dengan bangga. Anehnya, tidak lebih dari 3 detik, kakek dan ayah tertawa setelah meminum kopi buatan ibu. "Kamu ini ada- ada saja, cu. Beda dong masanya. Kamu pernah bermain bersama tetanggamu dan menjadi catatan masa kecil yang indah?" Aku pun termenung diam dan mulai bosan dengan ocehan mereka.
Sorenya, ibu tiba- tiba memanggilku. "Meli! Ayo sini bantu ibu cuci piring. Kamu daritadi enak- enakan ya duduk di sofa sambil nonton." Aku kan lagi nonton, kenapa harus diganggu. "Ayo, Mel. Bantu ibumu. Ayah harus bantu kakek membereskan genteng dan membetulkan antena. Biar kamu bisa nonton lebih jelas. Besok kan kita sudah pulang. Kamu sudah bisa beristirahat." Dengan wajah kesal, aku berarah ke dapur membantu ibu mencuci. Cepat- cepat. Malas banget tinggal di desa tidak ada pembantu. Rasanya aku ingin cepat- cepat hari esok muncul. Anehnya, sebelum aku hendak masuk dapur, aku melihat kakekku melihatku dari luar sambil menggeleng-gelengkan kepala. Pegal mungkin kepalanya.
Akhirnya datang juga hari terakhir. Hari yang untukku indah! Selamat tinggal piring- piring kotor, selamat tinggal kerbau dan halo hidup asliku. Aku pun buru- buru membereskan pakaianku dan menyuruh Pak Indra memasukkan tasku ke dalam mobil. "Pak, kami jalan dulu ya. Bapak baik- baik disini," ayah mengucapkan selamat tinggal sedangkan aku begegas masuk mobil. "Meli! Bilang terimakasih sama kakek. Ucapkan selamat tinggal dulu, dong!" kata ibu. Dengan loyonya aku menghampiri kakek. "Kek, makasih dan hati- hati. Sayonara!" Aku senyam- senyum dan belum ada 1 detik berbalik badan kakek memanggilku. "Cu, jaga dirimu dan adatmu ya. Kamu benar- benar beda sama orang tuamu. Terapkan apa yang mereka lakukan. Kakek berharap kamu seperti mereka. Kamu jaga diri ya, cu."
Entah mengapa pikiran itu masih terbayang dibenakhku hingga akhirnya aku mengerti maksud kakek di hari ia meninggal, 3 bulan setelah aku meninggalkannya.